Mengenal Indonesian AID, Lembaga Dana Bantuan Internasional Perdana dari RI
Renaldi News, Jakarta - Saat diresmikan oleh Wakil Presiden RI Jusuf Kalla pada 18 Oktober 2019, Indonesia, untuk pertama kali dalam sejarah, memiliki lembaga pengelola dan penyalur dana negara untuk pemberian bantuan internasional.
Lembaga Dana Kerja Sama Pembangunan Internasional Indonesia (LDKPI) atau Indonesian Agency for International Development (Indonesian AID) ditujukan untuk "menyalurkan kerja sama teknik (pengembangan kapasitas), fisik, dan kemanusiaan bagi negara berkembang lain yang membutuhkan bantuan pemerintah RI, sesuai dengan target Sustainable Development Goals 2030," kata Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik-Kementerian Luar Negeri RI, Cecep Herawan, dalam sebuah pengarahan kepada jurnalis di Jakarta, Senin 21 Oktober 2019.
Indonesian AID dibentuk dengan payung hukum di bawah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 143 Tahun 2019 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Dana Kerja Sama Pembangunan Internasional (LDKPI).
LDKPI menjadi lembaga yang bertugas mengelola dana kerja sama pembangunan internasional sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pemberian Hibah kepada Pemerintah Asing atau Lembaga Asing.
Badan yang setara dengan USAID Amerika Serikat, JICA Jepang, dan AUSAID Australia itu digawangi oleh empat kementerian RI, yakni; Kementerian Luar Negeri, Kementerian Keuangan, Kementerian Perencana Pembangunan Nasional/Bappenas, dan Kementerian Sekretariat Negara.
Nantinya, ketika LDKPI atau Indonesian AID 'beroperasi secara penuh pada 2021' mendatang, badan itu akan dipimpin oleh seorang Direktur Utama, dan dua direktur; Direktur Keuangan dan Umum, serta Direktur Investasi dan Penyaluran Dana. Lembaga itu juga akan memiliki pengawas keuangan internal atau 'Satuan Pemeriksaan Keuangan'.
'Bukan Barang Baru'
"Ini bukan barang baru," jelas Dirjen Cecep. "Pemerintah Indonesia telah sejak lama menyalurkan bantuan internasional kepada sejumlah negara berkembang yang membutuhkan, selaras dengan prinsip Kerja Sama Selatan-Selatan (South-South Cooperation)," lanjutnya.
"Tapi, sebelum adanya Indonesian AID, penyaluran bantuan dilaksanakan secara tersegmentasi dan mandiri berdasarkan kementerian yang memberikan. Misal, Kementerian Pertanian ingin memberikan bantuan teknik pemberdayaan kapasitas agrikultur di negara A. Maka mekanisme dan sumber pendanaannya secara mandiri dilakukan oleh instansi terkait," jelas diplomat Kementerian Luar Negeri itu.
"Selain tersegmentasi, model penyaluran bantuan ke luar negeri seperti itu sulit dimonitor, sehingga berpotensi kurang selaras dengan kebijakan luar negeri (foreign policy) pemerintah," jelasnya.
"Oleh karenanya, pembentukan LDKPI adalah demi menyatukan upaya penyaluran bantuan ke luar negeri dalam sebuah sistem satu atap dan tersentralisasi," lanjut Cecep.
Alasan lain dari pembentukan Indonesian AID adalah memangkas birokrasi pencairan dana bantuan internasional.
"Dalam kerangka bantuan kemanusiaan internasional misalnya, anggarannya ada di anggaran cadangan di Kemenkeu. Tapi proses pencairannya panjang dan berjenjang. Perlu ada usulan dari kementerian terkait ke presiden, disposisi presiden, pengalokasian di Kemenkeu, prosesnya lama."
"Misal; bencana alam di negara A terjadi hari ini, kemudian, datang keputusan politik RI untuk membantu. Namun, dalam model sistem yang dulu, proses realisasinya akan terhambat, pencairan dari anggaran cadangan Kemenkeu mungkin baru tahun depan setelah penganggaran RAPBN selanjutnya. Padahal, bencananya sudah tahun lalu," jelas Cecep.
"Dengan adanya sistem baru, akan jadi lebih mudah. Sumber anggarannya tidak lagi dari anggaran cadangan Kemenkeu, tapi di ambil langsung dari endowment fund LDKPI. Penyalurannya juga akan lebih cepat," lanjut Cecep.
Komentar
Posting Komentar